Posted by : Unknown
Jumat, 12 April 2013
“Mukmin yang kuat lebih baik
dan lebih dicintai Allah dari mukmin yang lemah, namun pada
masing-masingnya memiliki kebaikan. Bersemangatlah untuk meraih apa yang
bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah, dan jangan
bersikap lemah. Apabila ada sesuatu yang menimpamu janganlah berkata,
‘Seandainya dahulu aku melakukannya niscaya akan begini dan begitu.’Akan
tetapi katakanlah, ‘Itulah ketetapan Allah dan terserah Allah apa yang
dia inginkan maka tentu Dia kerjakan.’ Dikarenakan ucapan ‘seandainya’
itu akan membuka celah perbuatan setan.” (HR. Muslim, no. 6945)
Hadits di atas adalah hadits yang sangat
agung, siapa yang mampu menggapai sesuatu yang terkandung dalam hadits
ini, sesungguhnya ia telah mendapat kebaikan agama dan dunianya secara
bersamaan.
Penjelasan Hadits
Maksud perkataan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah”
Kuat di sini adalah kemauan keras dan
tabiat jiwa dalam perkara-perkara akhirat. Orang-orang yang memiliki
sifat ini akan selalu bersemangat melaksanakan shalat, puasa, berdzikir
kepada Allah ta’ala, dan ibadah-ibadah lainnya.
Orang-orang ini pula yang senantiasa
bersegera melangkahkan kaki untuk berjihad melawan musuh-musuh Islam.
Mereka juga memiliki tekad yang kuat dalam memerintahkan yang makruf dan
melarang yang munkar, selalu bersabar dalam menghadapi ujian yang
menimpa dan mampu melewati segala kesulitan dengan mudah karena Allah
ta’ala.
Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin
rahimahullah mengatakan bahwa makna kuat di sini adalah keimanan, dan
bukan tubuh, karena kekuatan tubuh bisa berbahaya bagi manusia, jika
digunakan untuk bermaksiat kepada Allah Ta’ala. Kekuatan tubuh tidak
terpuji atau tercela. Jika digunakan untuk hal yang bermanfaat di dunia
atau akhirat, maka dia menjadi terpuji. Sebaliknya jika digunakan untuk
berbuat maksiat, maka dia menjadi tercela.
Mukmin yang kuat imannya lebih baik dan
lebih dicintai Allah Ta’ala daripada mukmin yang lemah. Karena keimanan
yang kuat akan mendorong untuk melaksanakan sesuatu yang diwajibkan
Allah Ta’ala serta melaksanakan yang sunnah. Sedangkan mukmin yang lemah
iman tidak mudah melaksanakan apa yang diwajibkan Allah Ta’ala kepada-
nya dan yang dilarang-Nya.
Sabda Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam, “namun pada masing-masingnya memiliki kebaikan”
Maksudnya adalah mukmin yang kuat dan
lemah sama-sama memiliki kebaikan, karena keduanya sama-sama masih
memiliki keimanan. Dan mukmin yang lemah iman tentu lebih baik dari
orang kafir.
Sabda Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam, “Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu”
Ini adalah wasiat Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wasallam kepada umatnya, yaitu bersungguh-sungguh dalam mencari
dan mendapatkan manfaat. Sesungguhnya perbuatan manusia itu terbagi
menjadi tiga,
Perbuatan yang bermanfaat bagi manusia,
Perbuatan yang mengandung bahaya/madharat,
Perbuatan yang tidak ada manfaat dan madharatnya sama sekali.
Manusia yang berakal adalah yang
menerima wasiat Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, mereka
bersungguh-sungguh dalam mencari hal yang bermanfaat bagi dirinya.
Sedangkan mayoritas manusia menghabiskan waktu untuk hal yang tidak
bermanfaat, bahkan mengandung bahaya bagi diri dan agama mereka. Oleh
karena itu layak untuk dikatakan pada mereka, “Kalian tidak melaksanakan
wasiat Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam, mungkin karena kebodohan atau
karena meremehkannya”
Terhadap sesuatu yang bermanfaat, hendaknya kita bersemangat melaksanakannya, baik itu manfaat agama maupun keduniaan
Sabda Rasul Shalallahu ‘alaihi wasallam, “mohonlah pertolongan kepada Allah”
Sebuah petuah yang datang setelah sabda beliau Shalallahu ‘alaihi wasallam, “Bersemangatlah untuk meraih apa yang bermanfaat bagimu”,
Karena mencari dan mengambil sesuatu yang bermanfaat bisa jadi akan
menipu, yaitu dengan menjadikan diri sendiri sebagai sandaran dan
melupakan pertolongan Allah Ta’ala, sebagaimana terjadi pada kebanyakan
manusia, yakni berbangga diri dan melupakan pertolongan Allah Ta’ala.
Bersungguh-sungguhlah dalam hal yang bermanfaat, dan jangan lupa meminta
pertolongan Allah Ta’ala meskipun hal tersebut adalah mudah. Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
لِيَسْأَلْ أَحَدُكُمْ رَبَّهُ حَاجَتَهُ حَتَّى يَسْأَلَهُ الْمِلْحَ وَحَتَّى يَسْأَلَهُ شِسْعَ نَعْلِهِ إِذَا انْقَطَعَ
“Hendaklah salah seorang dari kalian
senantiasa meminta kebutuhannya kepada Tuhan, sampaipun ketika meminta
garam, sampaipun meminta tali sandalnya ketika putus.” (HR. at-Tirmidzi, no. 3604).
Mintalah selalu pertolongan Allah Ta’ala
dalam segala hal yang bermanfaat bahkan dalam ibadah sekalipun seperti
ketika wudhu, shalat dan lainnya. Karena tanpa pertolongan-Nya kita
tidak akan mampu melakukannya.
Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan sabdanya, “dan jangan bersikap lemah.”
Teruslah beramal dan jangan lemah atau
mundur, atau berkata, “Sungguh selesainya masih lama” atau “banyak
sekali pekerjaan ini, dan tak ada habisnya”. Ketika sejak awal hati
sudah meyakini adanya sesuatu yang bermanfaat, dan telah meminta
pertolongan kepada Allah Ta’ala serta telah memulai melakukannya, maka
janganlah lemah.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam melanjutkan, “Apabila
sesuatu menimpamu janganlah berkata, ‘Seandainya dahulu aku
melakukannya niscaya akan begini dan begitu.’ Akan tetapi katakanlah,
‘Itulah ketetapan Allah dan terserah Allah apa yang dia inginkan maka
tentu Dia kerjakan.’”
Setelah melakukan hal-hal yang telah
disebutkan di atas, namun hasilnya ternyata tidak sesuai dengan yang
diharapkan, maka janganlah mengatakan, ‘Seandainya dahulu aku melakukannya niscaya akan begini dan begitu.’ Karena
semua ini di luar kehendak manusia, kita hanya melaksanakan apa yang
diperintahkan, Allahlah yang berkuasa terhadap segala urusan. Allah
Ta’ala berfirman, artinya, “Dan Allah berkuasa terhadap urusan-Nya, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahuinya.” (QS. Yusuf: 21).
Setelah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi
wasallam melarang perkataan, ‘Seandainya dahulu aku melakukannya niscaya
akan begini dan begitu.’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
memberikan ganti dari larangan tersebut dengan kalimat, ‘Itulah ketetapan Allah dan terserah Allah apa yang dia inginkan maka tentu Dia kerjakan.’
Demikianlah salah satu keindahan Islam, ketika melarang sesuatu, akan
diberikan ganti dari larangan tersebut. Hal ini sebagaimana terdapat
dalam banyak ayat al-Qur’an, di antara firman- Nya Ta’ala, “Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad):
“Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “dengarlah”. Dan bagi
orang-orang yang kafir siksaan yang pedih.” (QS. al-Baqarah: 104).
Kemudian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam menutup hadits ini dengan sabdanya, “Dikarenakan ucapan ‘seandainya’ itu akan membuka celah perbuatan setan.”
Ini merupakan hikmah dilarang
mengucapkan “seandainya” untuk perkara-perkara yang telah ditetapkan
Allah. Karena, kalimat tersebut akan membuka celah perbuatan setan,
menimbulkan was-was, kesedihan, penyesalan dan duka yang mendalam. Semua
perkara telah ditetapkan, tidak mungkin akan berubah sesuatu yang sudah
terjadi. Semuanya telah ditulis di Lauhul Mahfudzlima puluh ribu
tahun sebelum diciptakan langit dan bumi. Oleh karena itu Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan umatnya untuk berkata,
قَدَرُ اللَّهِ وَمَا شَاءَ فَعَلَ
“Itulah ketetapan Allah dan terserah Allah apa yang dia inginkan maka tentu Dia kerjakan.”
Ini sesuai dengan firman-Nya Ta’ala, artinya, “Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang Dia kehendaki.” (QS. Huud: 107).
Namun perlu diketahui bahwa ketika Allah
Ta’ala menakdirkan sesuatu, pasti ada hikmah yang mengiringinya baik
diketahui ataupun tidak. Allah Ta’ala berfirman, artinya, “Dan kamu
tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila dikehendaki Allah.
Sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. al-Insan: 30).
Ayat tersebut menjelaskan bahwa kehendak Allah Ta’ala diiringi dengan ilmu dan hikmah.
Demikianlah penjelasan singkat tentang hadits di atas, semoga kita dapat mengamalkan hadits ini dan hati menjadi tenang. Wallahu a’lam. (Redaksi)
[Sumber: Diterjemahkan secara bebas dari Syarah Riyadhus Shalihin oleh Syaikh Ibnu Utsaimin